Thursday, November 13, 2014

Memikirkan Kematian


Ayat bacaan : Roma 14:1-12; Pengkhotbah 7:2-4

“Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah” (Roma 14:12).

Suatu hari ketika Martin Luther masih muda, ia berjalan bersama salah seorang temannya, Alexis. Tiba-tiba petir menyambar temannya itu sampai mati. Sejak saat itu terjadi perubahan drastis dalam hidup Luther. Ia mulai menaruh perhatian yang serius terhadap perkara-perkara rohani.

    Apakah yang dapat membuat kita tertarik terhadap perkara-perkara rohani? Sebab selama ini kita mengira bahwa hidup kita sungguh nyaman dan tidak diperlukan lagi perkara-perkara rohani yang hanya mengganggu “kenyamanan” kita. Coba saja Anda pikirkan, berapa jam waktu yang kita gunakan untuk memikirkan siasat-siasat bisnis ataupun rencana-rencana berlibur akhir tahun ini. Tak sedetik pun kita mau memikirkan kematian dan pengadilan Allah.

    Beberapa hari lalu saya kehilangan salah satu orang yang saya cintai, nenek saya. Meskipun sudah tua, tetapi semangatnya untuk bekerja tetap tinggi. Dan setiap hari Minggu dia tidak pernah melupakan jadwal ibadah, dan dia adalah salah satu jemaat yang paling rajin. Dia sudah ada di surga sekarang. 

    Kepergiannya ke rumah Bapa menyentakkan saya dari buaian. Selama ini saya jarang memikirkan tentang kematian. Saya menjalani rutinitas hidup yang saya anggap sudah cukup menyenangkan hati Tuhan. Tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa kita sudah bekerja giat bagi Allah?

    Saya sadar bahwa hidup manusia itu telah ditentukan. Kalau Tuhan bertanya kepada Anda berapa tahun Anda ingin hidup, apa jawaban Anda? 50 tahun? 70 tahun? 100 tahun? Umur manusia paling-paling 80 atau 90 tahun, itupun kalau “mulus”! Jadi apa artinya dibandingkan dengan kekekalan di surga atau di neraka? Seperti meneteskan air di tengah samudera.

    Anda pasti mati. Semua orang pasti mati. Tetapi tidak semua orang mau mengambil hikmah dari kematian. Manusia lebih suka menghadiri pesta daripada berkunjung ke rumah duka. Pengkhotbah berkata, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega. Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria” (Pengkhotbah 7:2-4).


Renungan:
    Anda diberi waktu selama di bumi ini untuk melakukan kehendak Tuhan. Bila Anda tidak menggunakan sebaik-baiknya, Anda akan menyesal di kemudian hari, dan penyesalan itu tidak ada obatnya!

Kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari kehidupan yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment